Rabu, 12 Maret 2014

Sekali INI Saja



“Terus aja bimbingan, kenapa belum selesai juga neng?”aduh pertanyaan itu menyakitkanku. Pertanyaan ibu dikota hujan sana menyayat hati dan perasaanku, haruskah aku bertekuk lutut dihadapan kedua orang tuaku?  Apakah aku harus mengakui bahwa aku seorang loser?! Ah, loser lagi-lagi aku mulai siap menampakan name tag loser dibelakang punggungku.
Mereka adalah dua orang yang tak pernah kutemui sejak umurku dua belas dan sekarang aku dua puluh satu hitung saja. aku bertemu, ingat! Hanya bertemu. Ketika lebaran tiba. Hanya lebaran. Dan sekarang aku berkepala dua tambah satu masih saja menjauh darinya. Bukan hanya menjauh aku sedang memilih jati diri siapakah aku? Apakah nantinya aku akan tetap tinggal sejauh ini dengan mereka? Sudahlah terlalu banyak pertanyaan.
Disetiap kampus ternama didunia, menurut perhitungan akademik aku diwajibkan untuk segera menggarap skripsi dan sering-sering bertatap muka dengan dua orang utusan terpercaya yang telah dinobatkan untuk mengantarku ke pintu aula yang sampai saat ini belum juga di cat. Tapi, ada satu hal yang membuatku tak ingin segera menjumpai mereka, ini hanya karena seseorang yang dulu pernah mengucapkan kata “Selamat ya, akhirnya kamu diterima di kampus impian” dengan berjabat tangan dan satu poto kenangan, tidak. Ada dua, tiga, empat, lima dan akhirnya satu album. Kami berdua bukanlah sepasang sepatu, melainkan hanyalah kaos kaki dan sepatu, mauku.
Aku kaos kaki dan kamu sepatu. Aku selalu membutuhkanmu karena takut kotor, sobek, basah dan sekedar menginjak tikotok pun aku tidak mau, aku sedang melindungi kaki jadi lindungilah aku. Tapi kamulah sepatu kita jarang bersama, benarkan? Aku butuh kamu, tapi kamu? Entahlah, aku hanya mengharapkan sebuah tepukan tangan yang merdu bukan sebelah tangan menepuk sampai pegal.
Kamu pernah menghubungiku dengan berbagai wacana, kamu pernah menanyakan tentang kuliahku tahukah aku sebahagia apa? Sebahagia Fatin yang memenangkan juara pertama dalam ajang mencari bakat. Betapa aku.
Hanya karena aku tidak mendengar kata semangat darimu, sampai hati aku menegcewakan kedua orang tuaku. Aku itu hierarki, karena kamu aku menjadi seperti itu aku berani memilih hal sepele untuk kebahagiaan seketika. Aku terlalu terjerumus kedalam teori Foucault tentang kegilaan pangkal dari perubahan. Aku telah menggila hanya menunggu kata semangat darimu saja, aku pikir katamu akan merubah segalanya untukku begitulah aku. Aku tidak seberuntung orang yang beruntung, begitu saja.
Disekitarku teman-teman sedang sibuk mengurusi ujian Comprehensive, Tahfidz dan revisi skripsi nya sedangkan aku hanya diam mengamati. Bagiku saat ini, semua bekerja sendiri, kata “Masuk Bareng Keluar Bareng” itu gak ada sedikitpun. Mungkin ini lahir karena akku terpuruk sekarang. Aku bukan mahasiswa aktif sana sini, aku bukan tim sukses partai ditahun ini, esok dan selamanya. Kegiatanku hanya menikmati Wifi gratis kampus yang baru bisa kunikmati saat ini setelah dua tahun singgah dikota Bandung ini.
Kenapa kamu ini tidak juga mengerti? Aku bahkan menulis rangkaian kata untuk membuatmu peka, walau tidak kukirim lewat manapun yang bisa menghubungkannya denganmu, semua hanya kujadikan status facebook. Kuakui selama kedekatan kita, dari gayamu membuat aku tidak peka tentang maksud katamu, ceritaku tentang pria yang mulai dekat denganku tapi sekarang dia sudah tiada. Bukankah itu yang ada dibenakmu tentangku ketika aku hilang mood walau sekedar mengangkat kabar darimu? Sekarang inginmu tercapai aku tidak jadi dengan pria yang umurnya sebaya dengan kakaku karena tuhan pun tahu kalau aku manusia pemilik rasa galau terbesar didunia.
Aku sempat berdo’a “Tuhan, jika dia memang bukan jodohku jangan biarkan aku terus bertegur sapa denganmu, jika aku tidak baik untukmu jauhkan segera mungkin, jika aku tidak pantas untukmu pertemukan kamu dengan wanita yang sangat baik tapi tidak berlebihan, wanita yang solehah dan turunan Tasik amin” mengapa aku malah mendoakanmu sedetail itu? Aku terlalu tahu tentangmu. Aku tidak ingin balasmu tahu segalanya tentangku tapi aku hanya ingin kamu tahu kalau aku butuh semangat darimu saja. apakah harus aku berjalan melangkah ke kota santri hanya untuk bertemu dengan seseorang yang hari-harinya dipenuhi dengan kata SPIRIT?. Ah, kamu menjengkelkan.
Lirik lagu Simple Plan - Perfect itu benar-benar menggugah kodratku sebagai bungsu teu jadi ini. Satu-satunya anak yang lebih sering diumbar kemampuannya padahal NOL. Pemiliki ayah yang selalu bangga dengan seuprit kebahagiaan yang ku hasilkan, tidak banyak prestasi tapi kadang Dewi Fortuna tidak ingin lepas perhatiannya padaku. Aku selalu ingin mengatakannya denganmu pada ayahku tentunya...
Hey dad look at me, think back and talk to me, that I grow up according to plan???
Tolong bantu aku mengatakannya. Tolonglah! Memang kamu bukan pria yang ayahku harapkan kedatangannya, tapi kamu yang kuharapkan sebelum aku mendengar protokoler memanggil namaku di aula yang saat ini sedang di cat, aula yang masih wangi cat krem itu, sebelum pak Rektor memindahkan tali toga sebelah kiri ke kanan tolong aku, bawa aku berlari, aku tidak butuh genggamanmu, aku tidak menyurhmu untuk berubah jadi seorang cheerleaders, tidak. Aku mau kamu whispering in my ear everytime. Hidup ini memang bukan kamu panutanku, kamu bukan tim pemandu wisata kehidupan, aku sudah punya dua pemandu dalam hidup ini, jadi yang kubutuhkan hanya semangatmu. Agar kita himpas. Aku selalu ada untukmu disaat terpurukmu walau tak kau pinta tapi kamu? Sekedar mengirmkan sms padaku dan bukan untukku tapi untuk bertitip salam pada seluruh jajaran keluarga besar alumni. Betapa aku sakit, Pren.
                                                            ***
Ciee, yang udah mau lulus.
Amin. Doakan.
Kalau yang lain lulus kapan?
Mana kutahu! Itu salah satunya. Kau menjengkelkan, aku bukan rektor yang menampung semua aktifitas mereka kan? Tolong liat aku disini sebentar saja. aku sedang gundah gulana saat ini. Masalah berdatangan tanpa hentinya, memang aku tidak pernah menceritakan tentangku yang sebenarnya tapi tolong sedikit saja, bantu aku mengumpulkan kekuatan tubuhku, menghapus rasa takutku, tolong!!! Rasa takut dan ingin mati kini kurasakan, rasa sesal dan..ah bodoh! Kebodohan aku bukan Foucault yang bodoh telah menciptakan jargon seperti itu kegilaan pangkal perubahan.
Aku tak lagi membalas pesan darinya setelah itu, yang kuharapkan tidak pernah sedikitpun membuatku bahagia, harapan itu buram, tidak datang dari naskah tuhan tapi dari kita sendiri mungkin nafsu saja, biasalah bisikan. Ternyata kabar darimu tak lagi berharga dimataku. Kamu hanya mengecewakanku. Malah melemahkanku, aku telah bersalah pada orang tua yang sering kutinggalkan, bahkan kudengar suaranya pun tidak pernah walau Assalamualaikum. Aku takut kecewaku segera datang. Ketika melihat mereka harus terkujur ditengah altar dengan samping coklat yang baru dibeli ditoko 24jam, kening yang dingin, dan aku harus berulang kali mengucapkan
Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah...irji’ii ila rabbiki raadhiyatan mardiyyah..fadhkhulil fil’ ibadhii... Wadhkhulii jannatii..... 
Ditelinganya.......
Sebelum Rektor memindahkan tali toga dari kiri ke kanan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar