Minggu, 02 Maret 2014

PADAMU AYAH....



Ayah...
Adalah empat huruf yang sangat bermakna, walau kehilangan satu huruf masih sangat baik artinya. Sangat sempurna makna dan kenyataannya sangatlah seimbang. Ketika kehilangan huruf A hanya menjadi yah, yang artinya setuju, begitulah ayah selalu setuju dan mendukung disetiap langkahku. Kemudian kehilangan huruf H, maka menjadi aya yang berarti ada dalam bahasa sunda, jadi ayah selalu ada disetiap waktu. Pada intinya ayah selalu mendukung dan ada disetiap waktu untuk anaknya. Betapa sempurnanya ayah.
Ayahku bukanlah seorang Selebritis, Presiden, Menteri, Gubernur atau Walikota. Bukan juga pak camat, lurah atau ketua RT. Tapi ayahku hanyalah seorang ketua keluarga yang berat tanggungannya karena memiliki keluarga besar seperti anak-anaknya hehehe. Tidak seperti itu juga. Beliau harus menanggung beban keluarganya, seperti pamanku, bibiku, dan uwaku. Ayah selalu saja sabar menghadapi kelakuan mereka yang seringkali memperdaya kebaikannya, aku kadang khawatir dengan semua ini. Aku khawatir tidak kebagian warisan hehe. Tidak begitu, aku tak peduli apakah mereka akan menghabiskan semua harta ayah sampai tanahnya mungkin mereka makan untuk dijadikan kolak aku tak peduli. Yang terpenting mereka tak membunuh ayahku.
Ayah seorang yang terkenal tapi tidak berprofesi seperti bapak Susilo, pak Dede yusuf, pak Jokowi atau pak Wiryo. Entahlah kenapa ayah begitu terkenal dikalangan mereka. Kadang aku tak suka ketika ayah kedatangan banyak tamu, aku tidak suka ketika ayah lebih mementingkan pekerjaannya, aku selalu tidak suka ketika ayah sakit setelah pulang dari kantor yang letaknya di kota dan sangat jauh sekali dari rumah. Aku tidak begitu bangga ketika ayah mengerjakan banyak hal hanya untuk sepiring nasi dan sebongkah berlian, karena waktu dengan kami sangatlah minim. Tapi aku juga senang mungkin itu tanda sayang ayah untuk mamah, karena Ia tak mau melihat kami kelaparan, melihat kami sengsara, melihat kami hancur. Tapi...ah.
Aku dan ayah tak begitu dekat. Kami seperti seorang teman yang ketika bicara sepentingnya saja. Bahkan kami tak banyak bicara satu Sama lain. Ketika makan cukup makan saja. Ketika nonton televisi cukup nonton. Pagi hari ayah keluar dan berolahraga, pulang hanya memerintah ini dan itu. Menyalahkan ini itu, entah apa penyebabnya. Aku, kaka dan adik selalu memaklumi sikap ayah yang begitu galak. Tapi aku tetap sayang ayah.
Disekolah aku selalu berusaha menjadi yang terbaik agar mendapat sambutan hangat darinya. Tapi, hasilnya selalu Sama. Ketika aku duduk dibangku sekolah dasar, peringkatku sangat bagus. Karena ayah juga. Aku dilarang bermain ini itu, kesana kemari, setiap waktu harus belajar, apapun itu, menghafal ayat-ayat al-qur'an yang menurutnya sangat penting dan harus diingat ketika berdo'a setelah shalat dan dilantunkan ketika mulai mengaji. Disekolah aku mampu mengerjakan pelajaran kelas atas, tapi yang terjadi aku malah STRESS. Aku mencoba kabur agar tidak seperti itu, tapi tanpa ku sadari ayah mengakhiri semuanya. Mungkin Ia sadar atau Ia sedang sibuk dengan pekerjaannya dan selalu begitu.
Kemudian aku mulai memasuki sekolah menengah, tapi apa yang terjadi aku dikirimnya jauh dari rumah. Aku merasa diasingkan. Bahkan ketika mereka meninggalkanku sendiri, tak ada rasa sedih atau hambar atau kehilangan. Aku tak seperti yang lainnya menangis tersedu-sedu. Mungkin ini keridhaan yang mereka kirimkan untukku. Bukan karena mereka bosan mengurusiku, bukan karena mereka tak suka aku tinggal dirumah, bukan karena itu tapi. Mereka ingin anaknya menjadi anak yang terbaik di mata  allah dan umat manusia nantinya. Aku hanya percaya diri saja, walaupun aku tak pernah tahu maksud utama dan yang paling utama mereka tapi aku yakin mereka selalu menyajikan do'a yang terbaik untuk anak-anaknya.
Suatu hari, aku mendapati kesempatan mengikuti sebuah lomba pidato sepesantren, alhasil aku menjadi juaranya. Setelah pengumuman itu berlangsung aku dengan rasa haru menelpon kedua orang tuaku dengan suara bangga aku memberi tahu mereka. Tapi, apa yang terjadi? Tahukah? Jawaban yang keluar hanyalah kata OH !!! Apa?? OH? OH ? Hanya OH??. Aku lemah seketika, respon mereka berbeda dengan teman-temanku yang seketika bangga berteman denganku.
"Kamu hebat"
"Selamat yah"
"Ga nyangka, ternyata"
"Bakat terpendam"
"Ga SIA SIA"
Dan banyak lagi, karena biasanya aku hanya bisa bercanda, bergurau dengan segala guyonan ga jelas. Banyak sekali sobekan kertas melayang diatas meja dengan tulisan pena hitam tertata dan kalau diperhatikan ya itulah sebuah KRITIK. Mungkin jika ayahku tahu dia akan sedih, dia akan marah, dia akan kecewa, dia akan menyesal telah melahirkanku kedunia, maksudnya memproduksi sehingga menjadi AKU. Tapi itu hanya mungkin, kemungkinan, kemungkinan yang tak akan pernah ku harap menjadi nyata. Kemungkinan yang hanya terlintas satu kali dibenakku. Kemungkinan yang takan pernah terpikir oleh seluruh anak didunia. Itu hanya sebuah kemungkinan yang tak akan pernah terjadi dan kuharap begitu. Seketika kalimat itu terbesit, hanya kalimat itu, maka aku takan pernah percaya pada kalimat " Tak ada yang tak mungkin".
Ayah...
Dialah pria yang baru kutemui ketangguhannya, kesetiaannya, keyakinannya.ke ke ke ke lainnya yang membuat semua orang bangga menyebutnya AYAH didepan banyak orang. Dewasa ini, aku seringkali membuatnya kecewa, membuatnya menungguku. Mungkin aku telah menyiksa ayah. Mungkin aku mempermainkan ayah. Mungkin. mungkin. mungkin. Mungkin ini akan jadi benar, sekarang aku kembali menganggapnya hal yang benar. Aku selalu menyusahkannya, aku selalu bersimpangan dengan keinginan ayah. Ketika aku memilih satu tingkat serius ayah tak pernah begitu setuju tapi Ia akan selalu bersikap setuju dihadapanku. Aku menyukai sesuatu tapi ayah tak suka, aku memilih ini tapi ayah tak suka.
Aku seringkali berimajinasi hal-hal diluar kepala, mungkin karena ayah terlalu pintar dan akademis maka itulah yang terjadi. Otakku tak seperti ayah yang sangat pintar. Otakku hanya sebatas Pentium yang sulit diupgrade. Otakku ya otakku. Ayah selalu menjadi luar biasa, kadang kala aku cemas kenapa ayah tak mentransfer kepintarannya padaku? Apa ini salah ayah? Mungkin Ia akan seperti itu menjawabnya. Berarti salahku? Tidak juga. Ini hanya salah Hawa nafsuku yang tak pernah terkontrol beraturan.
Aku gadis paling boros sepanjang perjalanan hidup manusia, sepertinya. Sepintas aku merasa sesal terus menerus karena selalu menghabiskan uang ayah tapi Ia tak pernah mempermasalahkannya atau belum? Hehe. Semoga tidak. Tapi aku seharusnya sadar diri. Ketika pikiran ini terlintas aku mendapat lowongan pekerjaan kemudian aku mencobanya, Dan akhirnya aku ... GAGAL. Mencoba yang lainnya kemudian aku GAGAL. Satu waktu aku menceritakan kejadian saat aku ditawarkan ayah terkekeh dan melarangku dengan candanya. Akhirnya aku tahu mengapa aku selalu gagal gagal dan gagal ternyata itulah alasannya, tak ada ridha setetespun dari AYAH untuk pekerjaanku.
Lelah memang karena aku menjadi sering menyalahkan diriku, menyalahkan kebodohanku, menyalahkan ini dan itu. sebenarnya apakah ayah tahu apa yang ada dibenakku? Apakah ayah tahu apakah cita-citaku? Apakah ayah tahu detail?. Sedangkan berbincang, menyapa pun tak pernah. Mengirimkan SMS pun tak pernah. Menelponku apalagi. Sayangkah ayah padaku? Masih di anggapkah aku sebagai anak ayah (membuka kartu keluarga dan ternyata ada) hehe. Lalu kenapa ayah sebegitu tak pedulinya padaku? Yang ada bukanlah satu jawaban melainkan satu bantahan yang menendangku sampai terlempar mungkin PERTANYAAN MACAM APA ITU? BODOH!.
Aku mencintai ayah, benar aku mencintainya karena  Allah, Aku mencintainya dengan keikhlasan, karena beliau pun menyayangiku. Antara ayah dan anak itulah cinta yang tak terbayangkan besarnya, semua ini karena kami mencintai karena  Allah. Pernah suatu hari aku mengatakan bahwa aku mencintai ayah, tapi teman-temanku malah mencibir dan menertawakanku. Mereka bilang mungkin kamu akan mencintainya seperti seorang kekasih, menakutkan. Lihat di televisi, Koran semua memberitakan bahwa ayah menyakiti gadis perempuannya, ayah melakukannya. Sewaktu itu aku benar-benar takut, rasanya aku semakin jauh dengannya. Sejarak pun aku tak pernah, di rumah tak bersapa. Bagaimana jadinya ketika ayah dan anak bersikap seperti itu? Aku sendiri pun enggan membayangkannya.
Aku sangat merindukan ayah, sekarang jarakku benar-benar jauh dengannya. Doaku selalu lebih dekat padanya, doanya, ya, aku yakin doanya selalu mengiringku kemanapun aku berjalan dan berarah. Ayah selalu bersamaku, tidak tapi do'a ayah yang bersamaku. Ketika bersamanya inginku seperti yang lainnya, inginku memeluknya, inginku berbagi cerita antara satu sampai akhir perjalanan hidupku seumur ini. Aku ingin Ia tahu apa yang kurasakan. Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupanku, kebohongan yang menyelimutiku. Apakah ayah tahu setiap detik nafasku semua hanyalah bohong. Kedustaan, munafik, wanita bertopeng. Anak macam apa aku ini? Aku tak sepantasnya dibanggakan.
Dearest my lovely dady...
Babeh,,,itulah satu panggilan yang ingin kukatakan karena aku selalu merasa dekat denganmu, merasa bahwa aku memanglah anakmu, aku adalah putrimu. Panggilan special, bagiku itu! Tidak hanya pada kekasihku, padamu pun aku ingin memiliki satu hal yang special. Maaf aku terlalu berlebihan tapi inilah aku. Aku menggantinya karena permintaan umy, aku tak masalah namun sekejap aku ingin memanggilmu babeh lagi.
Itu hanyalah panggilan lumrah tapi tidak untukku, kaulah terindah. Taukah? Aku selalu takut memilih pria yang terbaik karena aku tahu kaulah terbaik, kau mampu menjadi seorang Imam untuk keluarga, kau sangatlah bijaksana, kau selalu menjadi yang terbaik dimana pun berada. Aku bangga menjadi putrimu tapi terkadang aku malu karena ayahku terlalu sempurna untuk memiliki putri semacamku. Tidak sepantasnya aku seperti ini. Sungguh memalukan hidupku.
Ayah, aku yakin kau selalu ingin yang terbaik untukku dan kakak adikku, kau akan melakukan apapun untuk kebahagiaan kami. Aku selalu merasa tak sanggup ketika kau mulai melemah. Terkadang aku ingin menangisi hidupku ini, aku selalu kecewa dengan ibu, ketika Ia menggumam akan keinginanmu yang banyak dan berubah-rubah. Aku selalu kecewa dengan tingkah ibu, tapi aku takkan sampai hati membencinya. Ayah tolong aku, biarkan aku mencintai kalian berdua.
Dengan cinta
adinda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar